Berawal dari bulan april 2005, masifnya pemberitaan tsunami Aceh, di akhir tahun 2004, selain menimbulkan simpati, juga menjadi teror.
Itulah yang terjadi pada seorang kakek bernama Buyuang Apuang [koordinat dari google:, jika anda berniat datang ke sana].
Setelah gempa di perairan mentawai tanggal 10 april 2005, sang kakek menjadi sulit tidur, dan sering melamun, ketakutan akan datang gempa baru yang disertai tsunami membuatnya paranoid.
Akhirnya kakek Buyuang Apuang mengajak keluarganya untuk mengungsi ke tempat yang dia anggap aman, pilihannya adalah tempat anaknya, Kota Muaro Bungo Jambi (±12 jam dari Padang).
Untuk berangkat kesana sekeluarga (4 orang; Kakek, Nenek, Bu Lik/Etek, Wardi), maka satu-satunya sumber pendapatan keluarga, beberapa lusin bebek, habis dijual.
Wardi yang tinggal bersama sang kakek sejak orang tuanya bercerai, terpaksa harus ikut mengungsi bersama kakeknya itoe, meskipun beberapa minggu lagi sudah harus mengikuti ujian kenaikan kelas, ke kelas V. Dia tidak punya pilihan lain.
Setelah tinggal sekira dua bulan Jambi, paranoid Kakek Buyuang Apuang mulai sembuh, disamping rasa tidak enak membebani anaknya yang hanya menjadi buruh kebun karet. Mereka pulang.
Mungkin karena latarbelakang pendidikannya, si kakek sama sekali tidak aware dengan pendidikan cucunya, sehingga wardi harus berhenti sampai kelas IV SD.
Tapi ini adalah siklus yang berulang, paman wardi [anak laki2 Pak Buyuang Apuang], juga hanya sampai kelas IV SD, kemudian menjadi buruh-tani/-nelayan.
Dalam budaya tradisi Minang, kedekatan struktural (kalau boleh diistilahkan begitu) seorang anak selain menjadi tanggungjawab orang tua, juga menjadi tanggungjawab "Mamak"-nya.
Disinilah bagian peliknya, keluarga ini tinggal di tempat yang agak terpisah dari komunitas kampung(silahkan liat di googlemap). sehingga hubungan wardi dengan pamannya hampir membentuk sebuah pencitraan role model yang ideal, karena tidak ada contoh yang lebih dekat, dan tentu saja, contoh yang lebih baik.
Sekali waktu wardi pernah juga menyebut bahwa tanpa sekolah-pun (maksudnya tanpa menamatkan SD), pamannya bisa menghasilkan uang, cuma kemudian dapat dikonfrontir dengan memberitahukan bahwa kalo sekolahnya lebih tinggi maka ke-ajeg-an/kontinuitas pendapatan dan besarnya pastilah tidak akan sama.
pada akhirnya keinginan sekolah seorang bocah wardi tetap ada, meskipun mungkin cuma untuk alasan2 komunitas, dan mengisi kegiatan sehari2 yang terasa lowong, dll. hanya saja keinginan itu tidak didukung oleh kemampuan ekonomi dan kepedulian kakeknya.
Disekolahnya sendiri, wardi memang bukan siswa yang pintar, sehingga jika dia tidak ada, tidak banyak orang yang merasa kehilangan, termasuk gurunya.
Unfortunately, kepedulian yang lazim itu adalah bahwa jika seseorang pintar tapi miskin barulah dia dapat berharap untuk mendapatkan kepedulian yang dapat berupa beasiswa, orang tua asuh, dll.
Terus bagaimana dengan yang biasa2 saja-tidak bgt pintar-, tapi miskin, atau yang malah yang bodoh dan miskin, belum pernah ada program tertentu untuk 2 "jenis" yang terakhir. boro2 beasiswa, pengaturan pengelompokan kelas aja sering tidak adil untuk mereka.
Akhirnya wardi-pun berusaha menemukan penyelesaiannya sendiri, sebuah solusi cerdas versi dirinya sendiri. menawarkan dirinya untuk menjadi "pemelihara/angon" sapi pemilik kebun yang bertetangga langsung dengan rumah kakeknya.
d^¿^þ
```missy elliot-lose control[3.47] blu cantrell-hit 'em up style[4.11]```
No hay comentarios:
Publicar un comentario