15 marzo 2008

Genetika Kasih Sayang

Darwin memulai teori evolusinya yang semrawut itu dengan semangat Agnostik, kemudian diilhami oleh hasil penelitian tersebut dengan semangat keimanannya Mendell sukses menemukan hukum2 tentang pewarisan sifat pada keturunan yang kemudian disebut genetika.
Sehingga kemudian orang tahu sifat apa saja dan bagaimana sifat tersebut diwariskan.
Maka berderet-deretlah; asma, diabetes, buta warna, agresi, obesitas dan bakat untuk bunuh diri sebagai sesuatu yang menurun.

Maka seperti Daniel Goleman yang sok2an menahbiskan diri sebagai penggagas Teori Multiple Intelligence, maka agak mirip dengan itu, ku-umumkan juga bahwa ada satu lagi sifat yang diwariskan; 'kasih sayang operasional'
Kenapa disebut kasih sayang operasional? Wah..itu pertanyaan yang gampang sekali,..Ya,...karena aku yang nulis !

Syahdan disekitar akhir tahun 70-an, tersebutlah seorang pria bersekolah di kota yang berjarak sekira 130 km ke arah utara kampungnya, seorang anak pertama dari dua bersaudara.
Tahun2 diakhir 70-an adalah tahun yang buruk, susah, baru mencoba menggeliat setelah perang saudara dalam bentuk lain yang bernama Tragedi GESTOK-PKI[aku agak bingung dengan istilah
G30S/PKI, coba deh baca lagi buku sejarah dan liat tanggalnya].
Jadi jalan raya waktu itu mirip kubangan kerbau, jarak 130 km itu lebih cepat kalo ditempuh dengan sepeda onthel daripada naik bis, naik bis bisa sampai 2-hari-2-malam,sedangkan kalo bersepeda cuma 12 jam, [sebagai tambahan deskripsi] jalur sepeda di jaman itu lebarnya cuma sejengkal, tapi sangat bersih dan terkesan terawat meski tanah liat.

Si Bujang punya jadwal pulang yang teratur, karena waktu libur adalah waktu untuk membantu orang tua di rumah, atau sekedar bersenda gurau dengan teman2 lama yang tidak melanjutkan sekolah ke kota karena perekonomian yang sulit.
Tapi hari itu, hari yang mestinya Si Bujang dah sampai di rumah sore itu, membikin seisi rumah gusar.
Maka demi Si Bujang, malam ini juga Pak Gaek mengecek sepedanya, menyiapkan tas bututnya, untuk segera berangkat besok pagi seusai shalat subuh menyusul Si Bujang. Menjelang dhuhur sebelum mendaki di pendakian Bukit Pulai [dalam peta Topografi Indonesia keluaran Cornell University tanjakan itu punya tinggi sekira 279 m].

Dari puncak Si Bujang menyiapkan rem berupa potongan kayu/pohon yang ditambatkan pada sepeda, karena turunan se-curam itu pilihannya hanya ada sepeda dituntun ato nyoba extreme sport ala 70-an, begitu bendera start extreme sportnya dikibarkan sendiri, terlihatlah seorang tua sedang mendaki dengan susah payah, karena dia hafal betul postur dan gerak tubuh orang itu, Si Bujang malah jadi ragu, jangan2...jangan2 !
Tidak ada pilihan lain, kedua bergerak saling mendekati dalam kerangka Relativitas Einstein dengan kecepatan Newton dan jauh dari Konstraksi Lorentz [11 kata terakhir,..orang Belanda bilang:niet belangrijk a.k.a gak penting].

Setelah dekat barulah Si Bujang yakin, ternyata beliau adalah Ayahanda tercinta, menuntun sepeda, kemudian bertegur sapa.
"Mo kemana Pak ?" tanya Si Bujang.
"Ini tadi mak-moe minta saya untuk mengunjungi paman-moe di B (masih 20 km lagi kearah belakang Si Bujang), nggak tau kenapa, tiba2 mak-moe pingin tau aja kabar paman-moe itoe" jawab Ayahanda.
Si Bujang yang sudah kenal betul Ayahnya ini, dapat merasakan bahwa jawaban Ayahanda mengandung 50% kebenaran, dan 50% lagi kebenaran yang disembunyikan.
"Trus, ini Bapak mo ngelanjutin perjalanan sendiri kesana..?" tanya Si Bujang.
"Hmmm...gimana ya,..begitu nyampe sini, Bapak dah agak males ngelanjutin bersepedanya kesitu, besok ato lusa ajalah..." jawab Pak Gaek.
Si Bujang menyimpan senyumnya dalam hati [apa gw bilang...cuma 50% !]
"Jadi kita pulang neh, Pak !"
"Ayo-lah, nanti Bapak beritahu Mak-moe, kalo Bapak kesananya minggu depan aja !"

30-tahun kemudian Si Bujang I sudah harus menjalani peran sebagai Pak Gaek Jr ato Pak Gaek II, Si Bujang II, seorang anak pertama dari dua bersaudara, dengan warisan kebebalan dan kebengalan (untungnya, resesif!), bersekolah di tempat yang berjarak sekira 1.259 km kearah tenggara kampungnya.
Si Bujang II suka berangkat sendiri, dan hampir tidak pernah menempuh cara dan rute yang sama setiap pulang/pergi.

Maka suatu pagi di sebuah kota agak ke tenggara Sumatera, Si Bujang II menerima tilpun dari Pak Gaek II,"Jam berapa kamu sampai di situ?"
"Ini nih tadi Ibu-moe nyuruh Bapak nanyain kamu dah sampai pa belum, sambil nungguin Ibu-moe bersiap2 ke sekolah -yang lama banget spt biasa-, Bapak telpon kamu."
1 jam kemudian,"Kamu jadi ke tempat temenmu itu (menyebut komplek staf pengajar PTN), mending nunggu disitu aja, berangkatnya nanti siang kan?".
"Ini tadi Bapak abis nganterin Ibu-moe ke sekolah, kebetulan ban belakangnya agak kempes, jadi Bapak ke wartel aja, karena tukang tambal ban meriksanya agak lama".
Si Bujang II mengulum senyum, dia juga sudah kenal betul Bapaknya, dan enggak peduli "kebenaran 50%" seperti kisah diakhir 70-an itu, dia tahu betul he loves his Dad as is !

d^¿^þ

```Pas Band - Aku```

No hay comentarios: